Rabu, 14 April 2010

Perjalanan Science Membuka “Pikiran” Tuhan

Pada tahun 1633 seorang astronom berusia lanjut asal italia, Galileo Galilei, dibawa ke hadapan pengadilan roma, diadili, dituduh murtad, dan dihukum menghabiskan sisa hidupnya di penjara.
Kejahatan Galileo? Ia menerapkan gagasan, yang seabad sebelumnya telah dikemukakan astronom besar Katolik, Nicolaus Copernicus, bahwa bumi bukanlah pusat tata surya. Malah sebaliknya, kata Galileo, mataharilah yang berada di pusat, dan bumi hanyalah salah satu dari banyak planet yang berputar megelilinginya.
Gagasan ini dianggap berlawanan dengan posisi yang diambil dari Kitab Suci. Galileo dipaksa mengingkari pandangannya di depan publik, dan bukunya yang berisi gagasan yang dianggap menyerang itu, “Dialogue Concerning the Two Chief World Systems”, dilarang.
Namun, pandangan Galileo bertahan, dan percobaan-percobaan yang teliti serta model-model matematika yang ia gunakan dalam penelitiannya untuk memaham ialam menjadi landasan bagi semua perkembangan ilmu modern berikutnya. Tiga abad kemudian, seorang fissikawan Jerman, Albert Einsten, menyebut Galileo sebagai “Bapak Sains Modern”.
Lebih dari seribu tahun sebelum Galileo, sains lebih tertarik menciptakan penjabaran yang memuaskan tentang realitas daripada mencoba melihat apakah penjabaran itu bias didukung bukti. Namun, setelah Copernicus dan Galileo, para ilmuwan mulai bersemangat mencari bukti-bukti empiris. Percobaan-percobaan pikiran member jalan bagi percobaan-percobaan fisik yang sesungguhnya, misalnya percobaan Galileo yang terkenal ketika ia menjatuhkan dua benda dari Menara Miring Pisa untuk menguji teori Aristoteles: bahwa benda yang lebih berat jatuh lebih cepat daripada benda yang lebih ringan. (Ternyata tidak begitu)
Sejak masa Galileo, pengamatan cermat para ilmuwan telah menyumbang sebuah gambaran dunia yang mirip sebuah jam mekanis yang besar. Para ilmuwan tidak banyak menggunakan gagasan-gagasan, seperti jiwa, roh atau kesadaran. Seorang filsuf dan Ahli matematika Prancis, Rene Descartes, seorang Galileo kontemporer yang pada masa kini dianggap sebagai “Bapak Filsafat Modern”, menyatakan bahwa cara terbaik memahami dunia bekerja adalah membagi eksistensi menjadi dua bagian: dunia objektif atau material, yang diatur menurut prinsip=prinsip ilmu pengetahuan, dan dunia subjektif pikiran dan jiwa, yang menjadi urusan gereja.
Descartes terutama terkenal dengan pernyataan, “aku berpikir, maka aku ada”. Namun, sebenarnya, bagian berpikir dari pernyataan itu membingungkan Descartes, dan sama membingungkannya bagi para ilmuwan berabad-abad kemudian. Bagaimana pikiran bekerja? Dari mana pikiran-pikiran kita dating? Bagaimana bagian-bagian materi fisik otak menghasilkan kesadaran? Sebagaimana dikatakan seorang fisikawan modern, John Hagelin, “Ada masalah filosofis yang mendalam tentang bagaimana Anda mendapatkan kesadaran dari seonggok daging”.
Tanpa terpengaruh pembagian realitas murni dari Descartes, akal sehat mengatakan bahwa entah bagaimana, pikiran=pikiran kita haruslah berhubungan dengan semua eksistensi lainnya. Namun, bagaimana persisnya? Jawaban-jawaban terhadap pernyataan-pernyataan ini membuka sebuah dunia baru yang sangat luas tentang kemungkinan apa yang bias kita capai dalam hidup kita, dan ini adalah bagian pokok dari buku The Answer ini.
SEBUAH DUNIA DI DALAM ATOM
Pada berbagai generasi setelah Galileo dan Descartes, Sir Isaac Newton menjelajah lebih jauh gagasan alam-sebagai-mesin, ia merinci hukum-hukum pasti yang mengatur kerja mesin itu. Semua fisika klasik, dan sebenarnya semua ilmu pengetahuan modern, telah dibangun di atas landasan yang diciptakan Newton, yang menjabarkan semesta sebagai ruang tiga dimensi yang kosong, tempat benda-benda fisik bergerak sesuai hukum-hukum yang pasti. Hukum-hukum gerak ini memungkinkan kemajuan teknologi modern, mulai dari mesin uap sederhana sampai ke wahana angkasa yang telah menganalisis contoh tanah dari mars.
Apa yang telah kita capai dengan menerapkan hukum-hukum Newton memang sungguh menakjubkan. Namun, akhirnya para ilmuwan mencapai batas dari pandangan dunia ala Newton. Ketika perangkat mereka semakin canggih, penjelajahan mereka ke dalam dunia fisik membawa mereka ke inti atom, yang terbukti memiliki sifat realitas yang sangat berbeda dengan segala sesuatu yang pernah dibayangkan Descartes atau Newton.
Pada awal abad kedua puluh, pandangan mekanistik yang teratur dan objektif tentang dunia mulai rontok. Dengan penemuan radioaktif pada akhir 1890-an, para ilmuwan mulai melihat ke dalam dunia di dalam inti atom, dan mereka terkejut menemukan bahwa di tingkat subatom, dunia fisik sama sekali tidak berperilaku seperti yang seharusnya menurut Newton. Malah sebenarnya, ternyata “atom” itu sendiri hanyalah sejenis ilusi: Semakin dekat ilmuwan melihat, semakin tidak tampak atom itu di sana.
Berasal dari Yunani kuno, kata atom berarti “unit yang tidak terbagi”. Selama abad kesembilan belas, para ilmuwan percaya bahwa seluruh semesta fisik kita terdiri atas partikel-partikel elementer ini. Namun, radioaktivitas menunjukkan bahwa ternyata atom bias dibagi-malah sebenarnya terdapat sebuah dunia baru terhadap fenomena di dalam aton, menunggu dijelajah, diukur dan dijabarkan. Ketika visi kita tentang atom terbelah, landasan fisika klasik juga turut terbelah bersamanya. Pandangan kita tentang cara dunia bekerja berada dalam suatu perubahan yang radikal.
SEGALA SESUATU ADALAH ENERGI
Ketika kita mengucapkan nama Albert Einstein, apa yang muncul di benak? Mungkin anda mengingat rambut putihnya yang lebat, atau gambar fisikawan itu yang sedang menjulurkan lidahnya. Atau mungkin anda hanya berpikir kata “jenius”. Namun, apapun gambaran yang anda miliki tentang dia, mungkin Anda juga akan memunculkan rumus “E=MC^2”. Mengapa persamaan matematika untuk sebuah teori modern ini begitu termasyur sehingga orang yang bukan ilmuwan pun segera mengenalinya ? Karena dengan persamaan yang sederhana ini, “Energi sama dengan massa dikali kecepatan cahaya pangkat dua,” Einstein meruntuhkan pemikiran yang sudah berusia berabad-abad, dan secara radikal mengubah pandangan kita tentang cara dunia bekerja. Dalam upayanya menjelaskan perilaku cahaya yang membingungkan, Einstein menemukan bahwa satu-satunya jalan keluar yang memungkinkan adalah berhenti memandang dalam kerangka kerja murni fisika Newton. Sebaliknya, ia memperkenalkan gambarannya sendiri tentang cara dunia bekerja: Teori Relativitas. Salah satu alasan mengapa gagasan Einstein begitu mengubah adalah karena untuk pertama kalinya, gagasan ini menjelaskan bagaimana energy dan materi bukan saja berkaitan, tetapi keduanya dapat diubah secara bolak-balik. Ditemukan sebuah lubang terobosan pada dinding yang selama ini memisahkan dunia materi dan energy. Sekarang, fisika klasik Newton yang serba pasti akan terpaksa menyingkir dan member ruang bagi dunia yang aneh, tidak lazim, nyaris tak terbayangkan dari fisika kuantum.
Fisika kuantum adalah kajian tentang cara dunia bekerja pada skala terkecil, di tingkat yang jauh lebih kecil dari atom. Ketika para ilmuwan mempelajari sifat realitas pada skala yang semakin kecil, sesuatu yang aneh mulai terjadi: Semakin dalam kita memasuki realitas, semakin tampak melarut dari pandangan. Pencarian akan partikel materi yang terkecil malah menghasilkan paket-paket energy yang kecil, jelas tetapi elusive, yang oleh para fisikawan disebut “kuanta”.
Terobosan Einstein berujung pada: Segala sesuatu adalah Energi. Sebuah batu, sebuah planet, segelas air, tangan Anda, segala sesuatu yang bias Anda sentuh, cicip, atau cium –semuanya terbuat dari molekul-molekul, yang terbuat dari atom-atom, yang terbuat dari proton, electron, dan neutron, yang terbuat dari bukan apa-apa kecuali paket-paket energy yang bergetar.
Di sinlah fisika kuantum bersilangan dengan apa yang saya temukan dalam kotak karton saya. Apa yang ditemukan para fisikawan berkaitan dengan bagaimana Anda akan menciptakan hidup impian Anda dengan membangun bisnis impian Anda. Karena sekali kita tahu bahwa segala sesuatu adalah energy –tidak ada perbedaan mutlak antara materi dan energi- batas antara dunia fisik dan dunia pikiran kita juga mulai menghilang.
MEMBACA PIKIRAN TUHAN
Dalam beberapa decade setelahh teori relativitas milik Einstein, fisika kuantum yang baru mulai mengungkapkan beberapa hal yang sangat aneh. Paket-paket energy yang sangat kecil, yang dikenal sebagai kuanta menunjukkan bebeapa perilaku yang ganjil, termasuk kemampuan saling mempengaruhi yang tidak bias dijelaskan, sebuah sifat yang disebut “Ketertautan”.
Dalam bukunya “Science and the Akashic Field”, fisikawan Ervin Laszlo menjelaskan sederet percobaan yang dilakukan ahli penguji kebohongan, Cleve Backster. Backster mengambil beberapa sel darah putih dari mulut subjeknya dan membiakkannya dalam tabung uji. Kemudian ia memindahkan biakan itu ke lokasi yang jauh, lebih dari sebelas kilometer jauhnya. Ia memasang alat penguji kebohongan pada biakan, kemudian melakukan sederet percobaan pada subjeknya.
Pada salah satu percobaanya, ia menunjukkan kepada subjeknya sebuah program televise yang menggambarkan serangan Jepang ke Pearl Harbor pada tahun 1941. Pria ini adalah mantan penembak angkatan laut ynag benar-benar pernah berada di Pearl Harbor selama serangan itu. Ketika wajah seorang penembak angkatan laut muncul di layar, wajah pria itu memperlihatkan sebuah reaksi emosinal- dan saat itu juga, jarum penguji kebohongan yang berlokasi lebih dari sebelas kilometer itu melonjak, persis sebagaimana jarum itu akan melonjak jika dipasang pada pria itu sendiri, bukan pada tabung uji dari biakan sel-sel darah putihnya.
Percobaan-percobaan berikutnya dilkukan dengan mengubah situasi dan menambah jarak sampai lusinan bahkan ratusan kilometer, dengan hasil menakjubkan yang sama.
Bagaimana hal ini mungkin terjadi Dalam bahasa fisika kuantum, partikel-partikel tubuh penembak ini masih berhubungan atau “bertautan” satu sama lain, dan terlepas seberapa jauh ruang yang memisahkan mereka, mereka akan terus saling mempengaruhi. Malah sebenarnya, tampaknya efek ini terjadi pada kecepatan yang lebih cepat daripada kecepatan cahaya, dan ini melanggar salah satu hukum dasar Einstein.
Para ilmuwan menyebut kapasitas hubungan yang instan ini sebagai “nonlokalitas”. Einstein mempunyai sebuah istilah yang tidak terlalu teknis untuk hal ini. Ia menyebutnya “Aksi yang menyeramkan di kejauhan”.
Lalu apakah kekuatan ini? Mungkinkah kekuatan ini adalah sesuatu yang lebih mendasar dari pada energy ? yang kita cari adalah sebuah kekuatan utama ynag bias menyatukan segala jenis energy yang kita kenal. Pencarian akan sebuah persamaan matematika tunggal yang bias bertanggung jawab untuk perilaku semua daya yang dikenal di semesta –sebuah teori dasar yang menyatukan, “teori segala hal” / “theory of everything”- telah menjadi pencarian “cawan suci” ilmu pengetahuan. Beberapa ahli astrofisika yang terkemuka, seperti Stephen Hawking, mengatakan bahwa ketika kita bisa menemukan teori segala hal ini, kita akan mengetahui pikiran Tuhan (dalam metafora)
PENEMUAN YANG SANGAT ANEH: PIKIRAN MEMPENGARUHI MATERI
Selama dua puluh tahun karya radikal Einstein, terjadi sebuah revolusi lain dalam pandangan dunia, yang sama revolusionernya dengan karya Einstein. Ini dimulai dengan adanya pionir terdahulu dunia kuantum, seorang fisikawan Denmark, Niels Bohr, dan muridnya, Werner Heisenberg.
Bohr dan Heisenberg mempelajari perilaku yang mebingungkan dari partikel-partikel subatom dan mengenali bahwa sekali Anda memandang ke kedalaman inti atom, “partikel-partikel yang tidak terbagi” ini sama sekali tidak mirip dengan minatur tata surya yang teratur, yang terdiri atas bola-bola biliar yang kita duga, tetapi sesuatu yang jauh lebih berantakan. Partikel-partikel ini mirip dengna paket-paket kecil dari kemungkinan (probabilitas)
Setiap partikel subatom tampaknya bukan hadir sebagai “benda/thing” yang padat dan stabil, tetapi sebagi potensi segala jenis kemungkinan dirinya. Prinsip ketidakpastian Heisenberg menyatakan bahwa mustahil mengukur semua sifat sebuah partikel subatom sekaligus. Misalnya jika anda mencatat informasi tentang lokasi sebuah proton, anda tidak dapat memastikan kecepatannya atau arah luncurnya. Sebaliknya, jika anda bisa menemukan kecepataannya, Anda tidak bisa menemukan lokasinya.
Karya Bohr dan Heisenberg memunculkan pengertian bahwa di tingkat yang paling mendasar, materi fisik belum menjadi apa pun. Menurut pengertian baru ini, pada skala subatom, realitas bukan terbuat dari substansi yang padat, tetapi dari medan-medan potensialitas –mirip kumpulan sketsa atau gagasan kemungkinan suatu benda daripada benda itu sendiri. Sebuah partikel akan mengambil karakter sebuah “benda” material (dalam istilah para ilmuwan: sifat-sifat benda akan runtuh ke dalam satu keadaan tunggal) hanya ketika partikel itu diukur atau diamati.
Hal yang sungguh aneh itu adalah : penemuan bahwa tindakan pengamatan mempengaruhi perilaku partikel-partikel ini.
Setiap kali para ilmuwan mencari sebuah electron, sebuah electron akan muncul, tepat di tempat mereka mengharapkannya. Tidak menjadi masalah apakah seorang yang melakukan pengamatan itu adalah seorang ilmuwan atau supir bus. Malah sebenarnya, yang lebih aneh lagi, tidak lama kemudian ditemukan bahwa sekedar “niat” untuk mengukur partikel-partikel, bahkan tanpa melaksankan tindak pengukuran itu sendiri, tetap akan mempengaruhi partikel-partikel itu!
Tiba-tiba subjektivitas –tindak kesadaran atas sepotong “materi” – menjadi unsure esensial dalam sifat realtas.
MEDAN TITIK NOL
Ketika para ilmuwan melanjutkan penjelajahan mereka pada skala yang teramat kecil, akhirnya mereka menemukan diri memandangi sesuatu yang sungguh-sungguh membingungkan. Mereka menyebutnya medan titik nol (ZPF = zero point field), karena di tingkat yang paling kecil, rupanya hadir sejenis daya, bahkan pada suhu nol mutlak ketika semua bentuk energy yang kita kenal melenyap.
Di medan inilah hubungan instan ketertautan –fenomena aksi di kejauhan yang disebut menyeramkan oleh Einstein- mulai bias dipahami. Di sini di bawah tingkat energy itu sendiri, hadir sesuatu yang lebih besar lagi. Di tingkat ini, medan ini sudah bukan “energi” lagi, juga bukan sebuah ruang kosong. Para fisikawan menyadari bahwa medan ini paling tepat disebut sebagai sebuah medan informasi.
Dengan kata lain, samudera tunggal tempat energy muncul adalah sebuah lautan kesadaran murni. Dari lautan inilah materi muncul dalam lokalitas yang berkelompok di sana-sini. Sementara terbuat dari kesadaran, Materi dan Energi hanyalah dua bentuk yang diambil dari kesadaran.
Ervin Laszlo menyebut medan yang melandasi dan menghubungkan segala sesuatu ini sebagai medan A, sebagai penghormatan kepada konsep Veda kuno tentang catatan Akasha, suatu gudang nonfisik semua pengetahuan di semesta, termasuk semua pengalaman manusia. Psikolog Carl Jung menyebutnya “akal bawah sadar kolektif”. Teilhard de Chardin menyebutnya “noosphere (lingkungan akal)”. Rupert Sheldrake menyebutnya “medan morfogenetik”. Secara intuisi, kehadiran medan ini sudah dirasakan sejak ribuan tahun dan di sepanjang sejarah manusia medan ini telah disebut dengan banyak istilah serta penggambaran. Hanya pada beberapa decade terakhirlah ilmu pengetahuan bisa menjelaskan apa yang selama ini sudah kita rasakan, tetapi tidak pernah bisa menjelaskannya secara utuh.
Laszlo brekata “Orang purba tahu bahwa ruang tidaklah kosong; ruang adalah asal mula dan ingatan segala sesuatu yang ada dan pernah ada… [pemahaman ini] sekarang ditemukan kembali di garis depan ilmu pengetahuan [dan mulai menjadi] pilar utama gambar ilmu pengetahuan dunia pada abad kedua puluh satu. Ini akan sangat mengubah konsep tentang diri kita sendiri dan dunia”.
Sebenarnya, pemahaman ini telah sangat mengubah gambaran kita tentang diri kita sendiri dan dunia.

0 comments: